Gunung Santri Bojonegara
(Penyebaran Agama Islam di Banten)
Sejak masih di sekolah
dasar, saya sering berziarah ke makam Syekh Muhammad Soleh yang berada di
Gunung santri yang menjadi objek wisata
yang tidak hanya memiliki nilai estetika
seperti layaknya pegunungan lain, Gunung Santri juga memiliki nilai sejarah dan
religius.
Gunung berada di Desa Bojonegara Kecamatan
Bojonegara Kabupaten Serang, daerah ini
berada di sebelah barat laut daerah pantai utara, 7KM dari Kota Cilegon. Letak gunung santri berada ditengah dikelilingi gugusan
gunung-gunung yang memanjang dimulai dari pantai dan berakhir pada gunung induk
yaitu gunung gede.
Di puncak
gunung santri terdapat makan seorang wali yaitu Syekh Muhammad Sholeh, jarak
tempuh dari kaki bukit menuju puncak bejarak ±500 M yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki.
Kampung di
sekitar gunung santri antara lain Kejangkungan, Lumalang, Ciranggon, Beji, Gunung Santri dan Pangsoran. Di kaki bukit sebelah
utara di kampung Beji terdapat masjid kuno yang seumur dengan masjid Banten
lama yaitu Masjid Beji yang merupakan masjid bersejarah yang masih kokoh tegak
berdiri sesuai dengan bentuk aslinya sejak zaman Kesultanan Banten yang saat itu dipimpin Sultan Hasanudin.
Syekh
Muhammad Sholeh adalah Santri dari Sunan Ampel, setelah
menimba ilmu beliau menemui Sultan Syarif Hidayatullah atau lebih di kenal
dengan gelar Sunan Gunung Jati (ayahanda dari Sultan Hasanudin) pada masa itu
penguasa Cirebon. Dan Syeh Muhamad Sholeh diperintahkan oleh Sultan Syarif
Hidayatullah untuk mencari putranya yang sudah lama tidak ke Cirebon dan sambil
berdakwah yang kala itu Banten masih beragama hindu dan masih dibawah kekuasaan
kerajaan pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Pucuk Umun dengan pusat
pemerintahanya berada di Banten Girang.
Dengan ketelatennya, akhirnya Syekh Muhammad Sholeh pun bertemu Sultan Hasanudin di Gunung Lempu, dekat kampung Merapit Desa Ukir Sari Kecamatan Bojonegara yang terletak di sebelah barat pusat
kecamatan yang sedang Bermunajat kepada Allah SWT. Setelah memaparkan maksud
dan tujuannya, Sultan Hasanudin pun menolak untuk kembali ke Cirebon.
Karena
kedekatannya dengan ayahnya Sultan Hasanudin yaitu Syarif Hidayatullah,
akhirnya Sultan Hasanudin pun mengangkat Syekh Muhammad Sholeh untuk menjadi
pengawal sekaligus penasehat dengan julukan “Cili Kored” karena berhasil dengan
pertanian dengan mengelola sawah untuk hidup sehari-hari dengan julukan sawah
si derup yang berada di blok Beji.
Syiar agam
Islam yang dilakukan Sultan Hasanudin mendapat tantangan dari Prabu Pucuk Umun,
karena berhasil menyebarkan agama Islam di Banten sampai bagian Selatan Gunung
Pulosari (Gunung Karang) dan Pulau Panaitan Ujung Kulon. Keberhasilan ini
mengusik Prabu Pucuk Umun karena semakin kehilangan pengaruh, dan menantang Sultan
Hasanudin untuk bertarung dengan cara mengadu ayam jago dan sebagai taruhannya
akan dipotong lehernya, tantangan Prabu Pucuk umun diterima oleh sultan
Hasanudin.
Setelah
Sultan Hasanudin bermusyawarah dengan pengawalnya Syekh Muhamad Soleh, akhirnya
disepakati yang akan bertarung melawan Prabu Pucuk Umun adalah Syekh Muhamad
Sholeh yang bisa menyerupai bentuk ayam jago seperti halnya ayam jago biasa.
Hal ini terjadi karena kekuasaan Allah SWT.
Pertarungan
dua ayam jago tersebut berlangsung seru namun akhirnya ayam jago milik Sultan
Maulana Hasanudin yang memenangkan pertarungan dan membawa ayam jago tersebut
kerumahnya.
Ayam jago
tersebut berubah menjadi sosok Syekh Muhammad Sholeh sekembalinya di rumah
Sultan Maulana Hasanudin. Akibat kekalahan adu ayam jago tersebut Prabu Pucuk
Umun pun tidak terima dan mengajak berperang Sultan Maulana Hasanudin, mungkin
sedang naas pasukan Prabu Pucuk Umun pun kalah dalam perperangan dan mundur ke
selatan bersembunyi di pedalaman rangkas yang sekarang dikenal dengan suku
Baduy.
Setelah
selesai mengemban tugas dari Sultan Maulana Hasanudin, Syekh Muhammad Sholeh
pun kembali ke kediamannya di Gunung santri dan melanjutkan aktifitasnya
sebagai mubaligh dan menyiarkan agama Islam kembali. Keberhasilan Syekh
Muhammad Sholeh dalam menyebarkan agama Islam di pantai utara banten ini
didasari dengan rasa keihlasan dan kejujuran dalam menanamkan tauhid kepada
santrinya, semua itu patut di teladani oleh kita semua oleh generasi penerus
untuk menegakkan amal ma’rup nahi mungkar.
Beliau Wafat
pada usia 76 Tahun dan beliau berpesan kepada santrinya jika ia wafat untuk
dimakamkan di Gunung Santri dan di dekat makan beliau terdapat pengawal
sekaligus santri syekh Muhammad Sholeh yaitu makam Malik, Isroil, Ali dan Akbar
yang setia menemani syekh dalam meyiarkan agama Islam. Syekh Muhammad Sholeh
wafat pada tahun 1550 Hijriah/958 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar