BIOGRAFI RONGGO WARSITO
Nama : Bagus
Burhan (Raden Ranggawarsita)
Tempat/
Tanggal Lahir : Yasadipuran Surakarta,
15 Maret 1802
Nama
Ayah : R.T
Saatranegara
Nama
Istri :
Raden Ajeng Gombak
Nama
Mertua : Raden
Adipati Cakraningrat
Perjalanan
Hidup :
Pada usia 4 tahun, Bagus Burhan
diserahkan kepada Ki Tanujaya untuk di didik hingga usia 12 tahun. Ki Tanujaya
merupakan abdi kepercayaan ayahnya yang jujur, luwes dan memiliki pengetahuan
yang luas.
Pada usia 12 tahun, Burhan mulai
berguru ilmu agama kepada Kanjeng Kyai Imam Besari di Pondok Pesantren Gerbang
Tinatar, Telagasari, Ponorogo. Kanjeng Kyai Imam Besari merupakan menantu Paku
Buwana IV dan teman sepergurruan ayahnya. Bagus Burhan sangat malas belajar
ilmu agama, bahkan lebih senang berjudi. Kenakalannya membawa pengaruh buruk
bagi santri lainnya, kemudian Kanjeng Kyai Imam Besari memarahi Bagus Burhan,
rupanya Murka sang guru membuat mata batin Bagus terbuka, sehingga ia mulai
belajar dengan kesadaran. Bagus menjadi salah satu murid yang terpintar, selain
pintar Bagus Juga rajin dalam menjalankan ritual dan latihan-latihan yang
diberikan di pesantren. Bagus juga kemudian mulai aktif menjadi pengurus
pesantren, dan mulai membantu dalam memberikan pelajaran dipesantren.
Setelah
beberapa tahun mondok di pesantren dan dirasa sudah cukup pengetahuan dan
ilmunya tentang agama, kemudian Bagus Burhan kembali pulang ke Surakarta. Di
Surakarta Bagus diasuh langsung oleh kakeknya, R.T Sastraningrat, kakenya meramalkan
Bagus akan menjadi Pujangga Penutup di Tanah Jawa. Yang artinya adalah apa yang
harus dikatakan sudah dikatakan oleh Raden Ranggawarsita dan tidak ada hal baru
lagi yang harus dikatakan, namun interpretasinya tetap harus diperbaharui dari
waktu ke waktu terlebih lagi pulau jawa akan memasuki jaman suram (kolo bedu,
kala yuga), di perlukan interpretasi terus menerus untuk tetap dapat
menghidupkan ruh Raden Ranggawarsita sebagai penjaga mandala pulau jawa.
Beberapa tahun kemudian Bagus
Muda kembali melakukan pengembaraannya, saat itu dia diserahkan kepada
Panembahan Buminata, untuk mempelajari ilmu jaya kawijayan, dan olah fisik.
Setelah tamat berguru, Bagus yang mulai dewasa di panggil oleh Sri Paduka Paku
Buwana IV dan diangkat sebagai pegawai istana.
Pada
28 Oktober 1818 Bagus diangkat menjadi pegawai Kraton dengan jabatan Carik
Kliwon di Kadipaten Anom, dengan gelar Rangga Pujangga Anom, atau lajimnya
disebut dengan Rangga Panjanganom. Semacam gelar bagi seorang pujangga muda. Kemudian
sekitar tahun 1749 jawa, Bagus diangkat menjadi Matri Carik Kadipaten Anom
dengan nama Mas Ngabehi Sarataka, waktu itu usia Bagus sekitar 20 tahun.
Kemudan
Bagus di nikahkan dengan Raden Ajeng Gombak, putra Bupati Kediri, yatu Kanjeng
Raden Adipati Cakraningrat. Perkawinan di langsungkan di Buminata, Surakarta.
Meski sudah berkeluarga dan juga memiliki jabatan, Mas Ngabehi tidak berhenti
menuntut ilmu, pengembaraannya terus berjalan, Di Surabaya Mas Ngabehi berguru
dengan Ajar Kyai Wirakantha.
Setelah
tamat dia meneruskan pengembaraannya ke Tabanan, Bali, berguru dengan Ajar Kyai
Sidalaku di Desa Pancak. Dari desa pancake, Tabanan, kemudian Mas Ngabehi
kembali ke Kediri tentu saja dengan membawa Ilmu dan pengetahuan. Karena Ilmu
pengetahuan yang semakin tinggi maka setelah kembali ke Surakarta, Mas Ngabehi
Sarataka di naikan pangkatnya menjadi Abdi Dalem Penewu Sedasa, sekitar tahun
1754 jawa, pada waktu itu tengah berkecamuk perang Diponegoro.
Usia
Mas Ngabehi memasuki 23 tahun, namun sudah terlihat keahliannya dalam kesastraan
jawa dan pancaran cahaya kebatinannya. Tulisan-tululisannya mulai mendapat perhatian
dari abdi dalem lainnya. Bahkan Sunan sendiri yang sempat membaca karya-karya
Mas Ngabehi menyarankan kepada abdi dalem lainnya agar belajara dari Mas
Ngabehi tentang tata bahasa dan gaya kepenulisan. Kemudian Mas Ngabehi
dianugrahi julukan cengkok atau corak kadipaten (cirinya kadipaten). Atas
inisiatifnya sendiri Mas Ngabehi yang menjabat sebagai Carik Kadipaten Anom
mulai mengumpulkan silsilah raja-raja terdahulu, dan melalui data-data itu ia
mulai menulis catatan sejarah dan kemudian di jadikan naskah.
Pada
usia 25 tahun ia mulai menuliskan pengetahuan dan ilmunya yang di dapat dari
pengalaman pribadinya, buku pertamanya adalah buku tentang tatacara bersopan
santun. Pada hari senin wage, 22 Besar, Jimawal 1757, K.G.P.H Purubaya, putra
Paku Buwana IV dari permaisuri Kanjeng Ratu Kencana naik tahtah menggantikan
Pakubuwana VI dengan gelar Paku Buwana VII. Pada tahun itu pulalah Mas Ngabehi
Sarataka dinaikan pangkatnya menjadi Panewu carik Kadipaten Anom dengan nama
Raden Ngabehi Ranggawarsita pada usia yang ke 30 tahun.
Kemampuannya
akan kesusastraan dan pendalaman akan kebatinan semakin terlihat, arti nama
Ranggawarsita adalah sebagai seorang petuah, seorang pujangga yang memiliki
petuah. Nama itu juga sebagai penegasan sosoknya sebagai seorang guru, baik
sebagai guru kesusastraan jawa dan juga sebagai guru kebatinan. Siswanya banyak
datang dari kalangan ningrat dan juga Belanda. “Ketahuilah sebelum segalanya
terjadi, hanya terdapat ruang, yang kosong hampa, tak ada sesuatu kecuali
Tuhan, tak seorang pun tahu, akan keberadaannya. tak ada yang mengetahui,
sukmanya dalam gedung, hanya Dia yang mengetahui sendiri, segera tahu akan
kehendak makhluk , sebelum mengetahui, sudah menguasai maka menjadikan
segalanya, karena akan dilihat, sudah nyata jagad sejati, dari sabda sekali
jadi, tak pernah luput dari sabda itu KARYA-KARYA RANGGA WARSITO (Kupasan Karya
Ronggo Warsito).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar